Pemain sinetron Ikatan Cinta, Amanda Manopo melontarkan pernyataan tentang kebahagiaan di media sosial.
Dengan gamblang Amanda Manopo mengatakan, kebahagiaan di media sosial juga terkadang tidak sama dengan aslinya.
Dengan kata lain, tidak semua hal yang ditunjukkan di media sosial itu sesuai aslinya.
"Terlihat baik lewat sosial media belum tentu baik kan. Terlihat bahagia di media sosial belum tentu bahagia aslinya," ungkap Amanda Manopo dalam potongan video podcast yang diunggah kembali oleh akun lambegosiip, Sabtu (4/2/2023).
Baca Juga:Imlek Fair 2023 di Medan, Bobby Nasution Serahkan 1.080 Sembako untuk Warga Tionghoa
Amanda Manopo sendiri mengaku, ia masih sering munafik di media sosial dengan pura-pura bahagia. Di sisi lain, ia juga berusaha untuk tidak terlalu munafik di media sosial.
"Walaupun sebenernya gua itu munafik gitu, tapi gua enggak mau terlalu munafik lewat sosial media," jelas Amanda Manopo.
Terkait pura-pura bahagia di media sosial, ini bukan hanya terjadi pada Amanda Manopo, melainkan banyak orang. Padahal, berpura-pura bahagia di media sosial dapat memberikan dampak memberikan efek yang kurang bagus.
Sementara itu, kebanyakan orang mungkin tidak mau terlihat sedang sedih di depan kerabat juga keluarganya, sehingga cenderung memaksakan diri untuk pura-pura bahagia meski sebenarnya sedang tertekan. Namun, saat sudah sendirian, perasaan sedih kembali muncul bahkan hingga menangis tanpa disadari.
Kalau kamu pernah mengalami kondisi tersebut, terlihat bahagia di depan umum padahal sebenarnya sedang tertekan, bisa jadi itu gejala duck syndrome.
Baca Juga:Unggah Video Bucin, Netizen Wanti-wanti Kiky Saputri: Awas Nanti Ada Berita Dicekik
Istilah duck syndrome pertama kali muncul di Stanford University, Amerika Serikat. Digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang tampak tenang, walaupun sebenarnya mengalami gangguan kecemasan.
Secara spesifik, duck syndrome dianggap menimpa seseorang yang memiliki tekanan untuk terlihat sempurna. Kondisi ini dianalogikan seperti bebek yang sedang berenang. Sebab saat berenang, bagian atas tubuh bebek akan tampak tenang tetapi sebenarnya sedang mengayuh kakinya dengan cepat untuk bisa tetap di atas air.
Menurut Medicine Net, duck syndrome tidak secara resmi diakui sebagai penyakit mental. Tetapi lebih mengacu pada fenomena yang digunakan untuk mendeskripsikan pelajar atau individu yang beranjak dewasa.
Seseorang yang mengalami duck syndrome akan terlihat tenang dan baik-baik saja, namun sebenarnya sedang mengalami banyak tekanan dan kepanikan untuk mencapai tuntutan hidup. Misalnya, tuntutan akademik untuk mendapat nilai bagus, pendidikan tinggi, hidup mapan, dan sebagainya.
Dikutip dari Ruang Guru, duck syndrome bisa dialami oleh kelompok usia berapa pun. Namun, mereka yang masih usia muda lebih rentan mengalami duck syndrome. Penyebabnya karena mereka sedang merasakan berbagai pengalaman hidup baru untuk pertama kalinya.
Seperti, jauh dari orangtua, tuntutan akademis yang lebih berat, persaingan yang lebih ketat, dan sebagainya. Faktor risiko duck syndrome lainnya juga bisa terjadi akibat lingkungan keluarga yang terlalu protektif dan keluarga yang selalu menekankan pada prestasi.
Meskipun tidak secara resmi disebut sebagai gangguan psikologis, duck syndrome pada akhirnya bisa menyebabkan gangguan mental tertentu, seperti depresi, gangguan cemas, atau penyakit mental lainnya.